Halaman

Sabtu, 07 September 2013

PENEGAK HUKUM JALANAN DAN RESIKONYA



Menurut Almarhum Prof Tjip Pekerjaan polisi sulit diatur hukum karena bergelimang interaksi dengan manusia dan masyarakat. Beliau menyebut karakteristik polisi sebagai “penegak hukum jalanan”. Polisi berbeda dari jaksa dan hakim yang saya sebut sebagai “penegak hukum gedongan”. Polisi adalah petugas (officer) lapangan, bekerja “tanpa sarung tangan” dan “tidak di belakang loket”, berada langsung di tengah orang baik atau jahat. Maka, risiko polisi dikalungi celurit lebih besar daripada jaksa dan hakim. Namun, bahaya itu sudah menjadi bagian risiko pekerjaan polisi. Di Amerika Serikat, jika seorang polisi berpamitan kepada istrinya untuk berangkat bekerja, itu menjadi pertanda salam perpisahan selamanya. Seorang polisi yang melihat orang miskin, kurus, dekil, melakukan kejahatan kecil, mungkin akan membiarkannya pergi, bahkan memberinya uang. Mungkin ia berpikir, mengapa orang ini harus kesulitan mencari makan, sedangkan
di tempat lain orang berpesta dalam kemewahan dan bergelimang uang. Maka, bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan Karena itu, secara agak dramatis kita boleh mengatakan, sebagian “nasib Indonesia” dan negara hukum Indonesia terletak di tangan polisi. Itu sebabnya saya mengatakan, polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan bertindak progresif, membuat pilihan-pilihan tepat dalam pekerjaannya. Namun, peluang itu juga dapat menjerumuskan polisi ke jurang “kenistaan”, dengan menjadi polisi korup, suka melakukan kekerasan, pelecehan (harassment) sehingga menjadikan hidup di Indonesia tidak nyaman. Maka kepada semua polisi di Indonesia, Anda “ditantang”, apakah akan menjadi pahlawan atau pembuat sengsara dan beban kehidupan bangsanya.Polisi akan terus dibunuh sepanjang ada panggilan tugas atau investigasi terhadap perilaku mencurigakan. Sebagaimana dicatat oleh Meyer et al. (1986), tidak ada banyak bukti yang mengindikasikan bahwa jumlah kematian polisi akan berkurang di masa-masa mendatang. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mencegah pembunuhan polisi adalah dengan memperbaiki komunikasi atas informasi yang relevan bagi polisi, meningkatkan kesadaraan polisi akan situasi kemungkinan penyerangan, dan melatih polisi agar lebih memahami dinamika situasi penyerangan. Sayangnya, cara terbaik yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan polisi untuk bertahan terhadap suatu penyerangan karena sangat sulit untuk mengurangi kemungkinan serangan.
Bila sekedar mendengar,saya akan lupa .Setelah saya melihat,barulah saya mengingat Dan setelah mengerjakan ,barulah saya bisa memahami ….Bila bukan sebagai bentuk apresiasi, berita tewasnya anggota reserse dalam menjalankan tugas pasti dimunculkan bukan sebagai berita utama. Pasalnya hal itu bisa dianggap sebagai berita biasa dan publik sudah sangat memahami bahwa risiko dari tugas seorang reserse adalah tewas dalam tugas. Menjadi seorang reserse, sudah ditanamkan resiko tugasnya, ibaratnya kalau salah melangkah kaki kiri masuk kuburan kaki kanan masuk penjara.
Minded reserse ibaratnya adalah menempatkan satu kaki di kuburan dan satu di penjara. Adagium ini sudah menyatu dalam jiwa anggota reserse. Mau tidak mau ia harus sadar bahwa tugas yang dihadapi adalah sebagai crime hunter atau pemburu kejahatan. Ia berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari penjahat kelas teri hingga kelas kakap. Ia harus siap berduel secara fisik dengan penjahat yang sudah nekat untuk mati. Ia harus sangat siap untuk mengorbankan satu-satunya nyawa.
Di sisi lain, apabila dalam proses penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya terjadi kesalahan formal ataupun material, ia harus siap digugat di pengadilan dan mempertanggungjawabkannya di depan sidang disiplin, kode etik, sampai pada sidang peradilan umum yang bisa mengantarkannya ke penjara. Ada dua pilihan risiko yang selalu membayangi setiap langkah seorang reserse. Proses memburu kejahatan, meski sering dikisahkan dalam film ataupun cerita fiksi, menjadi sebuah gambaran betapa reserse adalah bidang profesi yang penuh risiko.
Karena itu, seorang reserse tidak lagi terikat dengan uniform dalam keseharian, performance atau penampilannya. Ia harus menyatu dengan lingkungan buruannya berada. Bukan kisah aneh bila dalam sebuah penangkapan penjahat, ada anggota reserse yang menyamar sebagai pemulung, tukang becak, sopir, penjual sate, dan beragam pekerjaan lain untuk mengaburkan kecurigaan.
Ia harus bisa mengamuflasekan diri untuk waktu yang kadang harus ditempuh berhari-hari. Tunjangan Khusus Lebih-lebih reserse pada bidang tugas atau unit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras). Bisa terbayang bagaimana keseharian tugas yang dihadapinya, yaitu kekerasan. Senjata revolver, borgol dan sejenisnya, menjadi pegangan utamanya.
Senjata tersebut digunakan untuk pertahanan diri atau menyelamatkan orang lain. Sifat dasar manusia yang ingin bebas, menjadi hal dominan pada diri penjahat ketika akan ditangkap. Maka lewat seribu cara pula ia akan berusaha melepaskan diri dari kepungan petugas reserse. Ia akan memberikan perlawanan, kalau perlu menembak, membacok ataupun merebut senjata petugas. Sebuah lingkungan kerja yang membutuhkan nyali dan jiwa pengabdian yang tinggi.
Bagaimana negara memberikan ìimbalanî atas kerja mereka? Para reserse mendapat gaji sama dengan gaji polisi lain. Yang membedakan adalah jenis pangkat, masa kerja, dan golongannya. Secara khusus negara belum memberikan tunjangan khusus terhadap mereka, bahkan asuransi pun tidak menyentuh mereka. Padahal, terhadap profesi dengan risiko tinggi, diperlukan jaminan-jaminan tersebut. Pada sisi lain, acapkali secara kelembagaan reserse dipandang sebagai fungsi kepolisian yang paling banyak mendapat pengaduan dari masyarakat.
Hal ini terkait dengan perilaku oknum reserse yang berorientasi ekonomi (economic oriented) dalam tugasnya. Ia memanfaatkan lembaganya untuk keuntungan pribadi dengan dalih untuk mendukung operasional kegiatan mereka. Sudah saatnya negara memberikan ruang kesejahteraan dengan memberikan tunjangan khusus, perlindungan hukum sampai pada perlindungan jiwa mereka dalam sebuah asuransi yang memberikan suatu kepastian dan ketenangan dalam bertugas.
Upaya itu supaya di tengah-tengah menjalankan tugas yang penuh risiko, seorang reserse tidak terecoki oleh hal-hal yang bisa mengganggu konsentrasi mereka menangkap penjahat dalam kondisi apa pun.
NASIB BURUK AKAN DIANGGAP RESIKO TUGAS OLEH PIMPINAN, NAMUN JIKALAU BERHASIL SEMUA AKAN BERKATA ITU ANGGOTA SAYA

sumber: daenglira.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar